Minggu sebelumnya, sebelum hari keberangkatan kami (saya dan
teman saya, Ayu) pada Rabu, 9 September 2015, hanya berencana ke Karanganyar
untuk mengunjungi kebun the di Kemuning. Namun secara tidak sengaja, jalan
membawa kami ke Telaga Sarangan. Telaga Sarangan merupakan salah satu objek
wisata yang cukup terkenal didaerah perbatasan antara Karanganyar , Jawa Tengah
dengan Magetan, Jawa Timur, meski sudah memasuki wilayah jawa timur. Objek
wisata alam ini menawarkan beberapa keindahan yang bisa membuat kita nyaman dan
merasa ingin untuk berlama-lama. Terletak dilereng Gunung lawu, tentu hawa
disana sejuk, dikelilingi oleh bukit-bukit nan hijau dan udara yang masih segar
dan belum banyak polusi. Sebelum banyak berkisah tentang bagaimana indahnya
telaga tersebut, terlebih dahulu ingin saya ceritakan perjalanan dari Boyolali,
tepatnya dari kecamatan Nogosari ke Telaga Sarangan.
Kami
berangkat dari rumah sekitar jam 10.00 WIB, dimana matahari mulai terasa
menyengat kulit. Kami langsung melewati jalan utama kota Solo dan sampailah
kami di Karangayar, tepatnya didepan Taman Pancasila. Kami berhenti sebentar
untuk membeli minum dan jam sudah menunjukkan pukul 11.00 siang. Perjalanan
kami lanjutkan. Ada 2 jalur menuju daerah Tawang Mangu (tujuan awal kami selain
Kemuning), yaitu lewat Karang Pandan atau Matesih. Waktu itu kami ingin mencoba
jalur baru, lalu dipilihlah jalur Matesih untuk menghindari jalanan padat.
Namun kami lupa, bahwa jalur menuju ke Kemuning sudah terlewat. Inilah mengapa
kemudian kami memilih bablas menuju
Telaga Sarangan.
Disuguhi
pemandangan yang indah, perjalanan terasa cepat saja, hingga tanpa terasa kami
telah melewati Cemara Semu, yang terkenal dengan pohon-pohon cemaranya yang
rindang dan sebagai gerbang pendakian menuju puncak gunung Lawu. Jalanan yang
awalnya naik tajam, kini menjadi turunan-turunan. Yang ingin membeli oleh-oleh
strawberry, tersedia penjaja buah strawberry disepanjang jalan menuju Cemara
Sewu. Pohon-pohonan disana terlihat tua, dan punya keunikan tersendiri, selain
pohon-pohon tropis yang tinggi menjulang.
Akhirnya setelah beberapa waktu
melewati turunan dan sedikit tanjakan, kami sampai dipintu masuk kawasan Telaga
Sarangan. Uang retribusinya sebesar Rp 10.000-/orang. Setelah memasuki kawasan,
sekitar jam 12.00 siang, kami bisa parking disembarang area dipinggir telaga
sambil memesan makanan di warung-warung sepanjang tepi telaga. Tentu
teman-teman sudah tahu apa yang khas didaerah tersebut, yaitu sate kelinci.
Betul sekali, disana banyak warung yang menyediakan menu tersebut ditambah
menu-menu lain tentunya.
Lalu apa saja yang bisa dilakukan
disana? Kita bisa menikmati suasana santai dengan naik perahu yang gayuh atau
mencoba hal yang sedikit menantang dengan naik kapal jetsky untuk beradu balab
dengan teman. Bila teman-teman mau menginap disana tidak perlu khawatir, karena
hotel dan penginapan sudah banyak sekali berdiri disana. Tinggal teman-teman
pilih sesuai kantong. Dan masih banyak hal lain di Telaga Sarangan yang bisa teman-teman
nikmati disana. Setelah istirahat sejenak dan menyantap cemilan yang tadi kami
beli, barulah kami mulai mengabadikan kunjungan kami yang tak terencana ini.
Puas telah mendapat banyak foto, kamiputuskan untuk ke destinasi selanjutnya
yang kami putuskan baru-baru saja, yakni Candi Sukuh dan Candi Cetho.
Beberapa
foto yang berhasil di-capture
Awalnya kami ingin pergi ke kebun the
dulu di Kemuning, namun diperjalanan kami berbalik arah menuju Candi Sukuh,
karena waktu yang sudah menjelang sore, dan yang pernah kami dengar pemandangan
di Candi Sukuh cukup indah di kala sore atau pagi hari. Dengan pertimbangan
itulah kami memutuskan untuk menunda Candi Cetho dan Kemuning yang terletak
satu kawasan. Jam 1 siang kami beranjak dari Telaga Sarangan dan sampai di
Candi Sukuh sekitar pukul 2.45 siang. Waktu dijalan begitu lama karena
sejujurnya kami belum tau jalan akse menuju komplek candi, sehingga sering
berhenti untuk bertanya kepada warga sekitar.
Jalanannya cukup naik dengan curam, dan
sepi, mungkin karena bukan hari libur. Retribusi masuk kawasan candi sebesar Rp
5.000-\orang dan akan diberi kain yang dililitkan pada pinggang bermotif papan
catur. Namun kami datang disaat yang kurang tepat, bangunan candi terbesar di
komplek tersebut sedang direnovasi, sehingga hanya bangunan disekitarnya saja
yang bisa dinikmati. Selain wisatawan lokal, ada juga beberapa wisatawan
mancanegara yang pada waktu bersamaan datang berkunjung. Seperti yang kita
ketahui, terdapat beberapa dugaan bahwa candi tersebut diperkirakan usianya
lebih tua dari suku Maya di Amerika Latin sana, dan sekarang sedang diuji
kebenarannya. Untuk itulah situs warisan budaya tersebut menjadi cukup
terkenal.
Dan yang perlu diketahui juga, komplek
Sukuh ternyata masih digunakan untuk beribadah oleh umat Hindu. Ini menurut
warga yang tinggal disekitar komplek candi. Selain bangunan candi yang tua yang
bisa kita kagumi, pemandangan dari komplek candi patut diacungi 4 jempol.
Indah, sedikit berkabut dengan berkas cahaya matahari yang menyusup diantara
awan tebal dilangit. Bagi para pengagum keindahan dan Keagungan Tuhan, spot ini
dirasa cukup untuk dalam hati berucap, Alhamdulillahi-laillahaillahu-Allahuakbar.
Waktu tanpa terasa sudah menjelang jam
04.00 sore, kami putuskan untuk pulang, karena mengejar waktu pulang yang tidak
terlalu malam. Puas sekali rasanya hari itu, karena berawal dari pengambilan
jalur baru, kami terbawa ke tempat yang sebenarnya sudah lama ingin sekali kami
kunjungi, namun belum sempat terealisasi. Pukul 05.30 kami telah sampai dirumah
kembali. Namun meski telah dirumah, kami masih membawa suasana nyaman disana
tadi di dalam hati kami.