Loving you like loving a novel
Waktu masih menunjukan jam 8 malam di dinding kamarku. Aku
berbaring tak tenang, duduk tak tenang, berdiri apalagi. Aku sedang menunggu.
Kemana kamu? Kenapa kau tak balas sms dariku.
Satu bulan
sebelumnya temanku bilang padaku.
“ Ta, kamu kenapa? Lagi ada masalah ya? Kok murung terus, kayak gak
semangat gitu belajar, apalagi sekarang kamu jadi sering ngantuk ya aku
perhatikan, ayo Ta cerita sama aku kamu ada masalah apa? “
“ Gak ada apa-apa kok An, masa iya aku gitu ya? Aku malah gak tau
kalo aku sedang seperti itu sekarang.”
“ Sebentar lagi kita ujian lho Ta, kamu harus konsen belajar,
apalagi kamu bilang kamu agak kesulitan di Matematika sama Fisika.”
“ Iya An, aku udah nyoba belajar lebih keras, Cuma kadang aku masih
kalah sam malas An.”
“ Jangan bilang kamu jadi malas gini karena ada masalah sama Adi,
Ta?”
“ Rumayan An, aku serasa kehilangan dia akhir-akhir ini An, aku gak
bisa kalo gak mikirin itu. . .”
“ Ta, Tuhan menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan, Tuhan
menjodahkan malam dengan siang, laki-laki dan perempuan, hidup dan mati bahkan
kesenangan dan kesedihan, lantas kalau kita sudah tahu hal itu pasti ada apakah
kita harus menyerah dalam keadaan yang menurut kita sangat buruk, atau kita
harus lupa akan keadaan buruk yang bisa menerpa ketika kita menikmati
kesenangan. Menurutku Ta, bukan pada tempatnya kamu terlalu menyedihkan hal
itu, masalah seperti ini. Ta, masalah sekolah haris lebih kau sedihkan jika kau
gagal nanti di akhir, kta sudah berjuang selama tiga tahun, jangan biarkan
mimpimu lepas karena hal sepele ini. Kamu mengerti, Ta?
“ An, peluk aku An, aku terlalu lemah oleh godaan nafsu hatiku
untuk bersedih, aku terlalu lemah untuk tetap bermuka riang ketika aku sadari
kini dia menjauh dariku An, aku terlalu naif untuk menerima bahwa aku ini
memang budak kegalauan, An rangkul aku lagi agar aku kuat An. . .!!”
“ Udah Ta, air mata kita terlalu berharga untuk kita jatuhkan hanya
demi ini. Ta ayo semangat, jika pun dia meninggalkanmu, masih ada aku. Aku
yakin aku bisa menjadi tempatmu berkeluh kesah lebih baik daripada Dia. Ta, ayo
janji sama aku, jangan sedih lagi …! “
Dan waktu itu
aku belum bisa menjawab pertanyaan Ana, permintaan Ana supaya aku berjanji
untuk tidak bersedih lagi mengenai masalahku dengan Adi. Hari-hari setelah ada
menyuntikkan kekuatan hati padaku, aku merasa lebih baik memang, karena selain
dari Ana, Adi juga masih menghubungiku meskipun aku merasa sikapnya sudah
berubah, dari 7 bulan yang lalu, ketika pertama kali kita memutuskan menjadi
sepasang kekasih.
“ Ta, udah sarapan belum?”
“ Belum Di, lapar nih sebenarnya..”
“ Ya udah nih makan aja hati aku, enak lho, aku jamin rasanya manis
kayak yang punya hatinya.. “
“ Haha.. Iuhh.. Aku gak doyan hati, hati kan pahit, banyak
racunnya, sama kau yakin hatimu itu rasanya asam banget, kan kamu jarang
mandi.. “
“ Gitu ya Ta, gak ada yang ngingetin aku buat mandi sih Ta. Eh
gimana kalo kamu aja ya Ta, harus mau.”
“ Eittt.. Tunggu,, apa-apaan ini? Ngangkat pegawai kok maksa, gak
mau aku.”
“ Serius Ta, jadi pacar Adi?
“ Adi gak lucu banget bercandamu… “
“ Ta, Adi suka Tita..”
Tuttt…
Saat itu
langsung kumatikan telephon sore itu. Karena aku merasa aku juga menyukainya
aku pun menerimanya tiga hari kemudian. Awalnya rasa suka ku padanya biasa saja
dan masih wajar, bahkan terkadang aku tak menganggapnya, aku bilang bahwa aku
tidak sedang berpacaran pada temanku. Tiga bulan kemudian aku baru merasa,
ketika kita sangat dekat dan tiba-tiba dia bilang akan pergi keluar kota. Aku
cukup kaget, dan sebelum dia berangkat aku pun meminta bertemu dengannya untuk
sekedar salam perpisahan. Sejenak saja kita bertemu, karena memang waktu itu
tidak memungkinkan bagi kami untuk banyak bertukar kisah satu sama lain.
Dan hari itu
tiba, hari dimana awal perubahan pada dirinya dimulai. Meski hal itu tak pernah
aku sadari, kami masih saling menghubungi memang, namun waktu terus merangkak
ke depan, ketika aku menceritakan suatu hal padanya, takku tangkap lagi
antusiasnya akan cerita-ceritaku itu, bahkan akan diriku, ketika aku menanyakan
hal itu, Ia beralasan sedang sibuk bekerja dan waktu luangnya sungguh sedikit.
Aku pun mencoba mengerti, mencoba untuk tidak menuntut padanya atas perhatian
yang semakin berkurang untukku. Ketika aku berusaha memahaminya, aku temukan
banyak sifat yang baik darinya, Ia sangat mandiri, sangat mencintai
keluarganya, pemahamannya tentang agama pun jauh lebih baik dariku,aku semakin
menaruh hati padanya. Meskipun satu hal yang ketika itu aku abaikan. Bagaimana
pendapatnya tentangku, seberapa besar ia memberikan perasaannya untukku.
Dua minggu
setelah aku bercerita kepada Ana bahwa aku merasa Adi berubah sikap padaku, aku
bertengkar dengannya.
“ Di, kamu itu kemana aja sih, kenapa lama banget balas smsnya?”
“ Maaf Ta, aku tidur tadi, kan aku habis kerja.”
“ Benar kamu tidur? Kenapa kamu sekarang sering gak ada kalo aku
sedang butuh kamu. Aku ngerasa kamu berubah Di.”
“ Berubah gimana Ta, aku masih sama.”
“ Ya udah, aku gak mau bertengkar, aku minta kamu juga sisain sedit
aja waktumu dalam satu hari, untk sekedar menyapaku, sekedar memberiku
semangat, bisakah?”
“ Aku.. gak bisa janji Ta”
Yah…
perbincangan singkat kami malam itu bukannya menghilangkan rasa gelisahku, tapi
membuatnya semakin menjadi-jadi. Aku tak bisa konsentrasi belajar. Aku tak bisa
berfikir. Dan akhir dari semua itu adalah layaknya seorang perempuan yang sakit
hati, aku menangis.
Pagi harinya
aku berusaha untuk tetap terlihat wajar di depan Ana, dan meskipun aku berhasil
menipu Ana, namun aku gagal menipu diriku dari rasa kecewaku pada Adi. Ujian
akhir semakin dekat, dan masalah hubunganku dengan Adi pun semakin
berlarut-larut. Suatu hari kudapati Adi berbincang akrab dengan seorang
perempuan di media jejaring social. Rasa penasaranku memuncak dan kucari tahu
informasi lagi lebih banyak tentangnya. Di depan Adi aku pura-pura tidak
mengetahui hal itu, karena aku tidak ingin prasangka jelekku semakin merusak
hubunganku dengannya. Saat itu rasa takut kehilangannya lebih besar daripada
rasa penasaranku akan hubungannya dengan perempuan itu.
Namun suatu
hari dia tak memberi kabar padaku sama sekali, bahkan dia tidak membalas semua
sms ku. Malamnya setelah aku marah ia baru membalasnya. Malam itu juga kami
bertengkar lagi.
Hingga datang
malam ini, jam 8 tepat di dinding kamarku. Aku merasa sangat kacau, pikiranku
penuh dengan rasa sakit hati tak pernah lagi mendapat perhatian darinya. Hatiku
kecewa karena ia tidak mau mengerti posisiku yang sangat butuh diberi semangat
di detik-deik aku menuju ujian akhir. Aku marah aku tak bisa konsentrasi
belajar dan dia tak kunjung membalas sms dariku. Saat kalut itulah, keputusan
itu muncul.
“ Adi kamu jahat, kamu egois, kamu udah gak peduli sama aku.. apa
jangan-jangan ada orang lain diantara kita sekarang..? “
“ Kamu jangan ngomong seenaknya gitu Ta, gak ada orang lain, aku
memang sibuk. Aku minta maaf Ta kalo memang sekarang aku suda tidak bisa
seperti dulu lagi.”
“ Aku bosan mendengar jawabanmu yang itu-itu aja, kamu gak ada
alasan lain apa yang bisa kamu karang sekedar untuk menyenangkan hatiku?”
“ Tita udah.. aku minta maaf ya?”
“ Setidaknya lihat aku Di, aku tersiksa dengan sikapmu yang
seperti ini, aku mau putus.”
“ Apa? Ta jangan bercanda, kenapa harus putus, aku gak mau.”
“ Aku capek Di, aku selalu merasa perasaanku sekarang hanya sebelah
tangan.”
Kini ku
keluarkan semua yang memenuhi hati, membuat aku tak tenang dalam setiap
langkah. Kini meski aku tak pernah membencinya, aku melepasnya kuharap tanpanya
aku lebih baik dan dia tanpaku lebih baik pula.
Beberapa hal yang baru aku temukan setelah hampir satu tahun aku
putus dengannya. Memulai hubungan itu mudah namun menjaganya agar tidak menuai
masa-masa bosan itu sulit. Rasa saling pengertian akan kesibukan dan rutinitas
masing-masing juga merupakan hal penting dalam menjaga kelanggengan suatu
hubungan. Tidak egois, selalu menang sendiri dan selalu mengedepankan ego
merupakan duri-duri yang akan membuatnya semakin rapuh.
Dan hal lain yang aku temukan setelah kami putus waktu itu adalah
sepertinya ia memang tidak sedih dan kehilangan ketika kami berpisah. Karena
kudapati hanya dalam jangka beberapa hari, ia sudah memiliki kekasih baru. Dan
perempuan itu adalah perempuan yang sama yang aku curigai dulu sebelum aku
meminta putus padanya. Awalnya aku sangat membencinya. Namun lama aku menyadari
bahwa semua memang sudah sepantasnya terjadi seperti ini. Namun yang membuatku
terkadang masih sedih adalah aku masih terus mengingatnya, meskipun mungkin dia
tidak mengingatku lagi, aku masih berharap bisa berhubungan baik dengannya dan
meminta maaf atas segala ucapan-ucapanku yang mungkin kurang pantas padanya dan
tentu melihat senyumnya. Senyum yang sempat menjadi senyumku mungkin.
Dan satu hal yang mungkin memang tidak bisa aku kendalikan,
perasaannya padaku.
“ An, aku dulu bodoh ya?
“ Kenapa aku tidak bisa mencegah orang yang aku harap dekat
denganku pergi jauh dan bosan denganku, haha bodoh sekali..”
“ Ta, masih ada aku, Ana. Semua itu sudah jadi masa lalu kan Ta,
sekarang yang ada saat ini dn masa depan. Ayo runcingkan pena dan basahi kuas kita.
Kita lukis kanvas bari kita dengan hal-hal yang lebih baik.”
“ Ana..”
--The End--
# short story 2 (ss)